Oleh : M. Syukri Albani Nst, SH.I, MA
Bagi dunia pendidikan dan penerbitan, setiap tanggal 23 April dianggap sebagai hari berkesan, mengingat pada hari tersebut diperingati World Book and Copyright Day (hari buku dan hak cipta sedunia). Pada momen tersebut, kita sebagai penggiat pendidikan, penggiat baca tulis dan penerbitan harus merenovasi pola fikir dan metodologinya untuk bisa merespon lebih jauh tentang betapa besarnya peran buku dan penerbitan dalam perkembangan dunia pendidikan. Buku adalah sarana tersendiri untuk memperluas tingkat pendidikan dan keilmuan.
Oleh karenanya, World Book and Copyright Day ini harus menjadi evaluasi kecil
untuk menatap dunia pendidikan di Indonesia dengan mengkaitkannya pada minat baca, minat beli buku, dan kreativitas menulis, menerbitkan, serta kejernihan untuk menjaga kemurnian hak cipta dengan meminimalisir pembajakan.
Di Indonesia, ada banyak peraturan yang menyangkut tentang pendidikan. UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No 14 tahun 2005 tentang Dosen dan Guru, PP No 19 tahun 2005 tentang Standart Pendidikan Nasional dan PP Menteri Pendidikan Nasional RI No 11 Tahun 2005 tentang Buku Teks Pelajaran. Di semua peraturan tersebut, tidak ada satu pasal pun secara eksplisit mengatur tentang betapa pentingnya buku dan kaitannya dengan dunia baca tulis sebagai sarana perkembangan pendidikan. Hanya formalisasi pendidikan saja yang menjadi acuan utama dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Maka, tak salah jika konsumsi buku para pelajar dan mahasiswa di Indonesia sangatlah kecil.
Oleh karenanya, menjadi sangat penting untuk sedikit mencerna ulang, betapa besarnya peran buku dengan membudayakan membaca sebagai bagian lain untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia. Selain itu juga, budaya baca, akan melahirkan budaya kritisme terhadap berbagai masalah, baik itu secara oral, maupun dengan tulisan atau karya cipta yang bisa disalurkan melalui dunia penerbitan. Seterusnya, jika kita memakai analisis futurology, kedepannya, pendidikan di Indonesia akan berkembang sangat pesat jika ditopang dengan budaya baca dan budaya mencipta. Kemandirian pendidikan akan lahir seiring berkembang pesatnya dunia perbukuan di Indonesia yang diimbangi dengan budaya membaca.
Sejalan dengan itu, Islam sebagai salah satu agama yang mengedepankan pola pendidikan untuk memodernkan ummatnya, sangat mendukung erat budaya baca. Allah telah mengatur hal ini sebagai komitmen awal ketika Muhammad diangkatnya menjadi Rasul (utusanNya). Ketika itu, ayat pertama yang diturunkan Allah adalah tentang membaca (Lihat QS. Al-’Alaq ayat 1-5).
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Maha Menciptakan; Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah; bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah; yang mengajar manusia dengan perantaraan Kalam (alat); Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui manusia itu”. Komitmen awal ini, menjadi indikasi besar, bahwa Islam adalah agama pendidikan dengan menyalurkannya melalui dua metode besar.
Pertama, metode (iqra’), membaca. Membaca dengan saduran analisis, membaca dengan mengkaitkannya pada perkembangan pengetahuan, dan pola fikir, membaca, dengan mengkaitkannya pada wilayah teologis. Semua pengetahuan, akan kembali pada hak cipta dasarnya, yaitu Allah sebagai Tuhan. Dan membaca sebagai sarana pendidikan yang spritualis. Sejalan dengan ilmu padi, semakin banyak membaca, semakin banyak pengetahuan, semakin memahami kekurangan, semakin menyadari kebesaran Tuhan. Dengan perlakuan seperti itu, akan melahirkan ketawadhu’an yang hakiki. Pada Allah sebagai Tuhannya manusia, dan kepada sesama manusia sebagai partner hidup di hadapan Tuhan.
Kedua, Allah menjadikan Qalam (alat tulis; makna dasar) sebagai sarana Tebalmendukung pendidikan manusia. Dalam artian yang lebih luas, besar kaitannya dengan membaca, menulis dan melahirkan karya cipta terhadap perkembangan dunia pendidikan. Oleh karenanya, Allah tidak menghendaki manusia untuk stagnan hanya belajar saja, tanpa menghasilkan pelajaran baru dari ilmu dan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Oleh karenanya, sebagai rasa tanggung jawab, manusia juga dituntut untuk melahirkan karya demi mengembangkan keilmuan yang besar di dunia ini.
Allah dalam hal ini menyeimbangkan potensi baca, potensi belajar dan potensi menganalisa dengan potensi menulis, melahirkan karya, menterjemahkan keilmuan dalam ruang lingkup yang sangat besar. Kedua potensi inilah yang harus dijadikan pondasi awal dalam mengembangkan pendidikan dan sarananya di Indonesia ini.
Pendidikan dan Minat Baca
Jika kita harus merujuk berbagai kajian filsafat ilmu, maka tujuan akhir dari keilmuan adalah pencapaian ontology, epistimologi dan aksiologi yang harus saling berkaitan (baca; Jujun S. Suriasumantri; Surajiyo; Ahmad Taisir; Soetriono dan buku-buku lainnya). Maka, akhir dari sebuah keilmuan adalah pencapaian yang akurat terhadap defenisi, proses dan hasil. Hasil, nantinya akan menentukan sebesar apa pengaruh keilmuan yang sudah diraih. Biasanya, peraihan terbesar adalah menghasilkan karya baru sebagai hak ciptanya terhadap sebuah teori atau keilmuan yang baru pula.
Pencapaian tersebut, tidak akan berhasil, manakala tidak didukung oleh budaya baca dan budaya karya (menulis). Kedepannya, jangan sampai trilogy pencapaian hasil pembelajaran yang dikemukakan Bloom; Kognitif; Afektif dan Psikomotorik hanya sebagai lintasan pembahasan saja, tanpa ada aplikasi efektif.
Saat ini, sudah semacam terbudaya di dunia pendidikan kita hanya mengandalkan fasilitas oral saja sebagai sarana pendidikan. Jika ini terus berlanjut, maka pendidikan di Indonesia akan sangat bergantung dengan kemampuan guru atau dosen, baik dari sisi kedalaman ilmu, dan kemampuan beretorika yang baik. Jika tidak, maka dipastikan sistematisasi ilmu, dan isi dari ilmu tidak akan tercapai.
Kemalasan siswa dan mahasiswa kita untuk membaca melahirkan budaya mendengar saja. Coba tanyakan saja, pada siswa atau mahasiswa, sudah berapa buku yang ia miliki, yang ia baca dan yang ia tahu. Atau jangan-jangan, semua sekolah hanya mengandalkan buku pinjaman, dan setelah selesai belajar, maka buku dipulangkan. Dan coba pertanyakan pula, seberapa besarkah kebanggaan seorang siswa atau mahasiswa ketika ia memiliki buku, atau seberapa besarkah minat membeli buku seorang siswa atau mahasiswa.
Semuanya itu akan sangat berkaitan dengan pembudayaan mendasar dalam metode pendidikan yang dikembangkan. Jadi, jangan heran jika Indonesia, bukan termasuk salah satu negara yang bangga terhadap kualitas membaca dan menciptanya. Kedepannya, inilah yang harus menjadi salah satu tolak ukur untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita. Begitu juga dengan para guru dan dosen, budaya oral dalam mengajar ternyata tidak cukup efektif jika tidak ditopang dengan budaya berkarya melalui tulisan.
sumber: http://www.gerakan-membaca.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar