Senin, 11 Mei 2009

Peran guru Dalam Pembelajaran agama


Oleh: Suhartono S.Pd.

Sumber:nurulfikri.sch.id

Pembelajaran Agama adalah salah satu kelompok mata pelajaran yang wajib diberikan. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Dengan melihat tujuan pembelajaran agama tersebut, tampak jelaslah bagaimana seharusnya pembelajaran agama ini berperan. Memang tugas membentuk peserta didik tersebut bukan sekadar tanggung jawab guru agama di sekolah, melainkan seluruh guru memiliki peran yang sama pentingnya. Namun demikian, melalui pembelajaran agamalah yang lebih dekat dan mempunyai peran yang strategis.

Jika ditelusuri lebih dalam, setiap peserta didik sebenarnya telah memperoleh pembelajaran agama sejak duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan hingga Perguruan Tinggi ada mata kuliah dasar umum berupa pendidikan agama. Akan tetapi, dampak atau pengaruh dari pembelajaran agama ini belum mampu menumbuhkan imunitas para peserta didik menghadapi tantangan dan ancaman yang ada. Bagaimana agar melalui pembelajaran agama tumbuh watak peserta didik sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) sehingga mampu melahirkan peserta didik yang imun atau kebal terhadap berbagai kemungkinan melakukan tindakan destruktif?

Pembelajaran dengan Pendekatan Contextual Teaching and Learning

Sering kali para guru agama mengeluhkan kurangnya jam agama dalam menyelesaikan materi kurikulum yang ditentukan. Yang terjadi kemudian adalah pembelajaran agama berusaha untuk menyuguhkan materi pembelajaran agar tuntas materinya sehingga tampak suguhan kognitif jauh lebih banyak mewarnai KBM agama. Mereka kemudian menginginkan penambahan jam pembelajaran agar lebih leluasa menyampaikan materi.

Sebenarnya seberapa banyak pun jam pembelajaran agama ditambah tidak akan menyelesaikan persoalan yang ada jika tidak dilakukan revitalisasi pembelajaran agama. Pembelajaran agama memerlukan suatu terobosan pendekatan pembelajaran yang efektif. Pembelajaran yang mempu menumbuhkan kebermaknaan dan menyenangkan. Bukan yang selama ini dilekatkan atribut pada pembelajaran agama : menjenuhkan dan tidak inovatif.

Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa seorang pembelajara, peserta didik, akan mau dan mampu menyerap materi pelajaran jika mereka dapat menangkap makna dari pelajaran tersebut. Dalam buku Contextual Teaching and Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna karya Elaine B. Jhonson yang diterjemahkan oleh Ibnu Setiawan, disebutkan bahwa ” CTL adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna. CTL adalah suatu sistem pelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.” (2006: 58)

Para guru agama perlu memahami filosofi CTL ini dan menerapkannya dalam KBM di kelas agar agama tidak menjadi pelajaran ”menghafal” ”dogmatis” tanpa bersentuhan dengan konteks kehidupan siswa dan kebermaknaannya. Dalam pelajaran agama, anak memperoleh pengetahuan bahwa Allah SWT mewajibkan hamba-hamba-Nya untuk menjadikan kehidupannya sebagai ibadah kepada Allah SWT. Inilah tujuan penciptaan kehadiran manusia di dunia. Apakah tujuan ini dimaknai secara benar oleh siswa? Atau sekadar menghafal ayat bahwa hal itu ditemui dalam Al Quran Surat Adzariyat : 56?.

Para guru agama –dalam penerapan CTL- diharuskan menghadirkan konteks pembelajaran, bukan sekadar isi pelajaran. Isi pelajaran merupakan sesuatu yang akan diperlajari berupa pengetahuan yang hampir tanpa batas dan semua guru agama mengetahui akan hal ini. Isi agar bermakna harus dipelajari dalam konteks. Adapun konteks dalam pemahaman CTL meliputi :

1. Lingkungan yaitu dunia luar yang dikomunikasikan melalui pancaindera

2. Kejadian-kejadian atau peristiwa yang terjadi di suatu tempat dan waktu

3. Asumsi-asumsi bawah sadar yang diserap selama siswa tumbuh, dari keyakinan yang dipegang kuat siswa yang diperoleh melalui nilai-nilai yang diterimanya

Pembelajaran isi agama agar relevan hendaknya memperhatikan keselarasan konteksnya. Ketika guru menyampaikan materi tentang beriman kepada Allah SWT, guru hendaknya mengajak siswa pada peristiwa kehidupan yang dapat diungkap oleh siswa, kejadian-kejadian yang menimpa manusia yang tidak beriman, dan kesadaran terhadap firman Allah yang ditulis dalam kitab suci-Nya. Jadi, guru tidak secara dogmatis menyampaikan ayat-ayat yang memerintahkan untuk beriman kepada Allah SWT. Adanya kesadaran setiap siswa untuk selalu beriman kepada Allah SWT hendaknya muncul dari siswa melalui serangkaian pengalaman belajarnya di kelas atau di luar kelas. Dengan begitu Insya Allah akan muncul kesadaran bahwa Allah mengawasinya, Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap perbuatannya, dan seterusnya.

Agar guru selalu memelihara KBM-nya dalam genggaman CTL, guru perlu memastikan 8 prinsip CTL hadir dalam setiap KBM-nya, sebagaimana diungkap Elaine (2006: 65-66):

1. membuat ketrkaitan-keterkaitan yang bermakna

2. melakukan pekerjaan yang berarti

3. melakukan pembelajaran yang diatur sendiri

4. bekerja sama

5. berpikir kritis dan kreatif

6. membantu individu untuk tumbuh dan berkembang

7. mencapai standar yang tinggi

8. menggunakan penilaian yang autentik

Jika hal tersebut dilakukan, pembelajaran akan menjadi ”mengalir” dan bermakna. Nilai-nilai agama akan menjadi kebutuhan bukan kewajiban atau pemaksaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jam berapa???